Bagikan:

JAKARTA – Pertemuan tertutup antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menurut pengamat membuat situasi politik Tanah Air semakin sejuk.

Prabowo akhirnya bertemu Megawati pada Senin (7/4/2025) malam di kediaman sang mantan presiden di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, setelah sempat maju mundur sejak tahun lalu. 

Ini adalah pertemuan yang dinanti-nanti banyak kalangan. Wacana pertemuan Prabowo dan Megawati sebenarnya sudah mencuat sejak 2024. Menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober lalu, rumor ini makin berembus kencang.

Mandeknya pertemuan kedua tokoh Indonesia ini mencuatkan sejumlah spekulasi. Salah satunya adalah soal campur tangan Joko Widodo terhadap Prabowo.

Jokowi ditengarai sebagai penghalang pertemuan Megawati dan Prabowo karena hubungannya yang memburuk dengan Ketua Umum PDIP tersebut sejak dua tahun terakhir.

Capai Deal Politik?

Prabowo datang dengan didampingi sejumlah petinggi Partai Gerindra seperti Ahmad Muzani, Sugiono, dan Prasetyo Hadi. Selain itu ada pula Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya yang turut hadir. Sedangkan di sisi Megawati, ada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Budi Gunawan yang mendampinginya.

Sebelum ini, sinyal pertemuan tampak mendapat lampu hijau saat anak tunggal Prabowo, Didit Hediprasetyo, bersilaturahmi ke kediaman Megawat saat Idulfitri 1446 H.

Pertemuan di Teuku Umar berlangsung tertutup. Soal apa yang dibahas keduanya pun menjadi teka-teki. Namun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, keduanya sempat bertukar pandangan mengenai berbagai isu strategis.

“Ya kalau menyatukan visi saya enggak tahu persis. Tapi bertukar pikiran yang mendalam tentang bagaimana masa depan Indonesia itu pasti,” kata Dasco.

Menurut dia, Megawati turut berbagi pengalaman tentang bagaimana dirinya menangani krisis saat menjabat sebagai presiden di masa lalu.

“Ya sebenarnya kan lebih bagaimana menghadapi situasi global yang pada saat ini juga banyak menimpa negara-negara lain dan kedua tokoh saling bertukar pikiran dan juga bertukar pengalaman,” imbuhnya.

Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (8/4/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi/aa)

Menurut sejumlah kalangan, pertemuan ini dinilai strategis karena PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada Pemilihan Presiden 2024 sampai sekarang belum secara terbuka menyatakan dukungan dalam pemerintahan.

Dalam keterangannya, analis komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menuturkan, pertemuan Presiden Prabowo dan Megawati menunjukkan adanya kesepakatan politik yang signifikan.

Deal. Pasti dealDeal-nya apa? Kita nggak usah tahu koknggak usah kita pikirkan, tapi yang jelas ini bagus buat pemerintahan," kata Hendri Satrio.

Pria yang akrab disapa Hensat ini menduga salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah kemungkinan masuknya kader PDIP ke dalam kabinet pemerintahan, serta kehadiran Prabowo dalam Kongres PDIP mendatang.

"Sangat mungkin kader PDIP akan masuk ke kabinetnya Prabowo, dan Prabowo mungkin saja akan hadir di acara Kongres PDI Perjuangan," ucapnya.

Tak Ganggu Prabowo-Jokowi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Political Communication Studies and Research Center (PolCom SRC) Andriadi Achmad menyebut pertemuan keduanya menjadi bukti terkini bahwa politik Indonesia adalah dinamis.

Andriadi menilai, sebenarnya tidak ada perselisihan maupun permusuhan politik antara Prabowo dan Megawati. Apalagi melihat track-record keduanya yang menjalin hubungan baik sejak lama.

Pada Pilpres 2009, Megawati bersanding dengan Prabowo sebagai calon presiden dan wakil presiden. Hubungan ini berlanjut di Pilkada Jakartaa 2012 ketika PDIP dan Gerindra berkoalisi memenangkan Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Jalan Prabowo dan Megawati mulai terpisah saat Pilpres 2014 dan 2019. Waktu itu PDIP mengusung Jokowi yang melawan Prabowo. Kemudian di Pilpres 2024 PDIP mengusung Ganjar, sedangkan Prabowo menggandeng putra sulung Jokowi, Gibran.

“Namun, dalam politik cukup dinamis, sejak awal menang Pilpres 2024, gerakan politik Prabowo merangkul seluruh elemen bangsa termasuk parpol yang di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) yaitu PDIP, PKS, PKB, dan Nasdem,” ujar Andriadi kepada VOI.

Presiden Prabowo Subianto berbincang-bincang dengan presiden ke-7 RI Joko Widodo di sela-sela buka puasa bersama di Presidential Lounge, Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Rabu (26/3/2025). (ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden)

“Pertemuan antara Megawati dan Prabowo tidak mengubah secara signifikan peta politik Indonesia, akan tetapi dapat mencairkan komunikasi politik yang selama ini beku diantara Prabowo dan Megawati, secara pasti akan  membuat situasi politik semakin sejuk,” lanjutnya.

Mengenai pertemuan Prabowo dan Megawati yang tertutup, para pengamat mengatakan hal ini dilakukan demi menjaga hubungan Prabowo dan Jokowi.

Maklum, Jokowi dan Megawati terlibat perang dingin kurang lebih dua tahun terakhir setelah putra sulungnya yang juga kader PDIP menjadi wakil Prabowo di pilpres. Puncaknya, Jokowi dan keluarganya dipecat dari partai berlambang banteng moncong putih itu tahun lalu.

Kendati demikian, Andriadi yakin hubungan Prabowo dengan Jokowi tetap positif pasca-pertemuan di Teuku Umar.

“Menurut saya hubungan antara Prabowi dan Jokowi baik-baik saja seperti biasa pasca pertemuan Prabowo-Megawati. Bulan madu antara Prabowo-Jokowi masih terasa,” lanjutnya.

Tantangan untuk Demokrasi

Meski pertemuan kedua tokoh tersebut terkesan positif bagi pemerintahan ke depan, Hendri Satrio mengingatkan bahwa pertemuan tersebut juga dapat menjadi tantangan bagi demokrasi.

Ia menyebut hal itu terkait pentingnya fungsi DPR RI sebagai penampung aspirasi rakyat di tengah situasi elit politik yang tampak semakin solid.

"Buat demokrasi, ini challenge bagus. Masyarakat sipil harus benar-benar mengandalkan DPR untuk mengkritisi pemerintah," tuturnya.

Hal senada juga dituturkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan. Ia khawatir pertemuan Prabowo dan Megawati berujung pada masuknya PDIP ke koalisi partai politik pendukung pemerintahan Prabowo.

Jika PDIP ujung-ujungnya bergabung ke koalisi pemerintah, maka konstelasi demokrasi di Indonesia menjadi tidak imbang karena seluruh partai politik berada di pihak pemerintah.

"Tapi itu berdampak buruk untuk jangka panjang, demokrasi menjadi tidak imbang, pemerintahan menjadi seperti pemerintahan satu partai yang super gemuk," kata Djayadi, mengutip Kompas.

Jika hal itu terjadi, berarti kelompok masyarakat sipil yang bersikap kritis terhadap pemerintah kehilangan mitra untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

"Kelompok kritis di masyarakat dan khususnya civil society serta media kehilangan partner yang bersuara kritis untuk mengontrol pemerintahan. Kualitas pemerintahan kita akan melemah," tegasnya.